Senin, 15 April 2013

Tradisi "Jamasan Pusaka"







Jamasan Pusaka merupakan Upacara Adat Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan,  Kabupaten Nganjuk yang bersifat Tradisi, Sakral, Ritual dan adiluhung. Sebagai budaya bangsa, keberadaan Jamasan Pusaka ini selalu diupayakan kelestariannya bahkan ditingkatkan improfisasinya, sosialisasinya serta disesuaikan pelaksanaanya dengan perkembangan situasi serta kondisi pada saat ini.
Pelaksanaan upacara ini ditetapkan 3 macam hari pilihan yakni: Jum’at Legi, Jum’at Wage dan Senin Wage pada bulan Muharam (Syuro), bertempat di gedung Pusaka Desa Ngliman yang didahului oleh arak-arakan (Kirab).
Kirab didahului oleh serombongan petugas yang terdiri dari Subha Manggala (Cucuk Laku) para prajurit pasukan pembawa Pusaka, Putri Domas serta pasukan dengan kesenian MungDhe yang semuanya itu menggambarkan prajurit Kerajaan pada saat itu. Keberangkatan Kirab Pusaka diawali dari Makam Ki Ageng Ngaliman ke utara sampai gerdon terus kembali lagi sampai akhirnya ke Gedung Pusaka Baru Prosesi Jamasan dimulai dengan seremonial sebagai berikut:
 1. Pembukaan
2. Laporan Pembawa Pusaka
3. Penyerahan Pusaka
4. Laporan Penerimaan Pusaka
5. Laporan Kepala Dinparbudn Daerah Kab. Nganjuk
6. Sambutan Bupati Nganjuk
7. Do’a
8. Penutup dilanjutkan Prosesi Jamasan Pusaka
Benda Pusaka yang erat kaitannya dengan acara dimaksud adalah:
1. Kendi Pusaka
2. Senjata Pusaka
3. Wayang Pusaka

1. Kendi Pusaka
Bentuk dan besarnya tidak jauh berbeda dengan kendi-kendi yang kita kenal pada umumnya, terbuat dari tanah liat tingginya ± 25 cm. Kendi tersebut dikeluarkan 1 tahun sekali saat upacara dilaksanakan, sedang pada hari-hari biasa kendi tersebut disimpan di Gedung Makam Kyai Ngaliman.
2. Senjata Pusaka
Pusaka yang dipergunakan untuk upacara berjumlah 4 buah masing-masing bernama Kyai Srambat, Kyai Endel dan Kyai Kembar berjumlah 2 buah bentuk dan panjangnya sama.
3. Wayang Kayu
Wayang Kayul, Wayang Klitik atau Wayang Krucil jumlahnya ada 3 yakni: Eyang Bondan, Eyang Joko Truno, Eyang Betik. Selain benda-benda pusaka tersebut di atas masih ada perlengkapan lain untuk upacara dimaksud, misalnya kembang setaman, warangan, minyak wangi (cendana), Blandongan tempat merendam pusaka, Payung Agung berjumlah 5 buah, padupan untuk membakar dupa.

Proses Jamasan Pusaka
Pelaksanaan Prosesi Jamasan Pusaka diawali dengan penerimaan Pusaka dari berbagai daerah, Pusaka diserahkan Sesepuh Desa Ngliman Kecamatan Sawahan. Sebagai penutup acara diadakan selamatan bersama di Gedung Pusaka yang diikuti oleh segenap warga masyarakat dan para undangan yang hadir serta berkenan. Sedangkan pada malam harinya diadakan Tasyakuran dan Pagelaran Wayang Kulit samalam suntuk. Suatu kenyataan bahwa rangkaian upacara ini dipandu dengan lingkungan alam yang indah, udara pegunungan yang sejuk dan masyarakat yang ramah lingkungan serta ramah di dalam tata pergaulan bermasyarakat sehingga sungguh meriah untuk ditonton dengan segenap keluarga.

Minggu, 14 April 2013

Prosesi Larung Sesaji Siraman Sedudo

      
Pemkab Nganjuk melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Nganjuk menggelar siraman di objek wisata air terjun Sedudo beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut, ratusan pengunjung berjubel ingin melihat langsung prosesi siraman. "Ini memang menjadi agenda tahunan bagi Pemkab Nganjuk. Makanya harus terus dipertahankan agar daya tarik air terjun Sedudo bisa tetap terjaga," kata Abdul Wakid, Kabag Humas Pemkab Nganjuk.

Prosesi siraman diawali dengan tabur bunga bunga di tengah-tengah objek wisata air terjun sedudo yang dilakukan Wakil Bupati Nganjuk KH Abdul Wachid Badrus (Gus Wachid). Usai menabur bunga, Gus Wahid pun melarung sesaji ke tengah-tengah area air terjun sedudo. "Ini sebagai pertanda kalau Pemkab Nganjuk selalu memperhatikan air terjun sedudo sebagai tempat wisata andalan di Kabupaten Nganjuk," jelas Gus Wachid.

Gus Wachid mengungkapkan, air terjun sedudo memang menjadi objek wisata paling ternama di Kabupaten Nganjuk. "Nama sedudo telah dikenal hingga luar daerah. Jadi kalau ada prosesi siraman, kami rasa itu bisa menambah daya tarik pengunjung," katanya. Bukan hanya mengikuti prosesi siraman, Gus Wachid pun ikut mandi di bawah air terjun sedudo bersama masyarakat. "Katanya kalau mandi bisa membuat awet muda," ucapnya. Karena itulah, kata Gus Wachid, dirinya mengajak masyarakat untuk mandi bersama di
 air terjun sedudo.

Sementara, ritual Siraman Sedudo kali ini berlangsung meriah dan sakral. Kemasan tari Bedhayan Amek Tirta semakin menambah kesakralan prosesi. Tari itu sendiri merupakan penggambaran rasa wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tari ini dibawakan oleh lima penari cantik. Sedangkan di belakangnya siap sepuluh gadis berambut panjang siap dengan klentingnya dan lima perjaka yang siap mengambil air (amek tirta) dari gerojogan Sedudo. Para penari tersebut, menari sambil membawa klenthing, Sedang, penggarapan tari ditangani oleh para seniman muda, yaitu Kokok Wijanarko, S.Sn, bersama istrinya, Ratri Mulyandari.
Sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang penunjuk jalan (cucuk lampah) telah memandu jalan menuju air terjun Sedudo. Di belakang berderet lima sesepuh membawa dupa dan sesaji disusul para putri domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari 10 gadis berambut panjang dan 5 perjaka tampan. Yang menambah suasana menjadi sakral adalah aroma harum yang keluar dari kepulan asap dupa. Ini pertanda prosesi benar-benar dimulai, saat spriritualist, Ki Suprapto HS, membacakan mantra-mantra sambil membakar dupa menghadap ke guyuran air terjun Sedudo. Selanjutnya diikuti ritual larung sesaji ke dalam air Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Setelah usai, mereka bersama-sama kembali menuju persiapan pertunjukan tari Amek Tirta. Di akhir pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing ke sepuluh gadis berambut panjang sebagai pertanda proses ritual Amek Tirta dilaksanakan.
Semua harus turun di bawah guyuran air terjun sedudo, yang konon memiliki kekuatan magis dapat menjadikan orang yang mandi awet muda. Saat itu, para ritual yang menenteng 'klenthing' hanya sekadar mengisi air sedudo yang mengguyur. Kendati harus berbasah-basah, para gadis cantik bertubuh ideal tersebut harus rela demi mendapatkan 'tirta amerta.'
Juga menurut mitosnya, gadis dan perjaga yang mengambil 'tirta amerta' ini harus masih suci, untuk menggambarkan bahwa air yang diambil juga benar-benar masih suci. Untuk itu tidak sembrang gadis dapat mewakili dalam proses sakral ini. Bila mitos ini dilanggar, menurut kepercayaan warga setempat dapat mendatangkan 'sengkala' (bahaya-red).
Lazimnya, tirta amerta yang dipercaya memiliki kesucian ini, biasa digunakan untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan kegiatan ritual seperti jamasan pusaka, upacara ruwatan, wisuda waranggana, dan sebagainya. Usai upacara selesai dilanjutkan mandi bersama para pengunjung dan tamu undangan berebut masuk ke pemandian air terjun Sedudo.
Menurut sejarahnya, sebenarnya upacara siraman ini tidak ada. Kendati pun kepercayaan masyarakat tentang mandi air di Sedudo ini sudah turun-temurun – sejak nenek moyang kita. Baru sekitar tahun 1987, prosesi garapan tari dikemas sebagai kalender budaya dan berlangsung hingga sekarang.
Hal yang sama disampaikan Lies Nurhayati, Kepala Disparbuda Nganjuk, objek wisata Sedudo merupakan objek wisata handalan yang potensinya tidak kalah dari daerah lain. Untuk itu, lanjutnya, dia berharap kepada semua agar mendukung program pemerintah Nganjuk dalam bidang pariwisata. Selain itu, Lies Nurhayati juga berharap obyek wisata Air Terjun Sedudo bisa menarik pengunjung dan meningkatkan pendapatan asli daerah, sehingga Kabupaten Nganjuk akan mampu menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Timur hingga manca Negara. Untuk itu dia berpesan agar semua pihak, terutama yang berada di sekitar lokasi objek wisata bisa ikut menjaga dan melestarikan lingkungan.

Goa Margo Tresno - Ngluyu

        Mitos atau legenda yang hidup di masing-masing kawasan di sekitar wilayah. Ngluyu, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari daya linuwih yang dimiliki oleh para tokoh yang berada dan bertempat di wilayah tersebut. Pada masa perang Pajang, kawasan Guo Margo Tresno – Umbul Argomulyo (dulu disebut Ubalan) merupakan tempat persembunyian dan berada di bawah pengamanan punggowo yang bernama Tlimah. Seorang punggowo yang paling muda yang dikenal jagoan dan memiliki kesaktian dengan tugas utama untuk menjaga, menahan, menolak, memerangi dan melindungi dari segenap ancaman dan marabahaya agar tetap tercipta kehidupan yang aman dan damai dalam kehidupan sehari-hari. Berkat sawab linuwih yang dimiliki punggowo Tlimah ini, Guo Margo Tresno – Umbul Argomulyo ini kemudian tumbuh dan hidup sebuah kepercayaan bahwa kawasan ini merupakan kawasan yang sangat manjur dan paling tepat untuk melakukan kegiatan “lamun-lamun”.
Terutama untuk kegiatan olah rasa dan olah pikir. Mulai mencari inspirasi, mencerahkan hati, niat, pikiran, dan membangun kembali ikatan kebahagiaan, serta kedamaian hati. Termasuk dalam urusan cinta kasih dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Oleh karena itu dikawasan ini hidup pula sebuah mitos : “ bahwa kalau bahtera kehidupan rumah tangga rusak atau dirusak orang, apabila datang dan berdo’a di kawasan Guo Margo Tresno – Umbul Argomulyo, maka do’a mereka akan mudah terkabul”.
Gua yang disekitarnya memiliki panorama pegunungan yang cukup indah dan sejuk ini terletak di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngluyu 35 km arah utara pusat kota Nganjuk sangat cocok dikunjungi bagi para petualang. Sejauh 650 m sebelum masuk pintu Gua Margo Tresno terdapat kolam Ubalan yang airnya begitu jernih. Luas gua kurang lebih 15-50 m dan berhubungan dengan gua lemah jeblong. Disekitar Gua Margo Tresno terdapat, Gua Gondel, Gua Bale, Gua Pawon, Gua Omah dan Gua Landak. Tak hanya itu desa ngluyu juga terkenal dengan legenda MBAH GEDONG, Sesepuh atau orang pertama kali membabad, memberi nama  desa tersebut. mitos yang sering terdengar tentang Mbah gedong siapa saja yang ingin berkunjung ke desa tersebut dengan memakai batik corak putih bergaris yang sering dinamakan jarit parangrusak pasti akan dikejar-kejar petir karena menurut orang kampung disitu jarit parangrusak adalah baju yang sering di pakai Mbah Gedong dan gak boleh di samakan oleh orang lain. Dan sampai sekarang cerita tersebut masih benar terjadi alias nyata,ada seorang lagi mengadakan hajatan pernikahan dan tiba-tiba gak ada mendung ada petir menyambar-nyambar dicari-cari ternyata ada salah seorang tamu memberi kado sebuah jarit parangrusak lansung kado yang berisi jarit dibuang jauh dari tempat hajatan seketika petir yang dari tadi menyambar hilang bersamaan dengan jarit yang dibuang. Allhualm., begiutlah yang terjadi hanya ALLAH yang tau.

Air Terjun Merambat Roro Kuning



Air Terjun Roro Kuning berada sekitar 27-30 km selatan kota Nganjuk, di ketinggian 600 m dpl dan memiliki tinggi antara 10-15 m. Air terjun ini mengalir dari tiga sumber di sekitar Gunung Wilis yang mengalir merambat di sela-sela bebatuan padas di bawah pepohonan hutan pinus. Kemudian menjadi air terjun yang membentuk trisula. Dan karena proses mengalirnya itulah maka masyarakat Desa Bajulan menamakan air terjun merambat. Sedangkan nama Roro Kuning sendiri menurut legenda berasal dari Ruting dan Roro Kuning, dua putri raja yang berasal dari kerajaan Kadiri dan kerajaan Dhoho yang berkuasa sekitar abad ke 11-12 M.  Nama asli Ruting adalah Dewi Kilisuci, sedangkan Roro Kuning nama sebenarnya adalah Dewi Sekartaji.

Saat mereka berdua sakit, Raja tersebut sudah berusaha keras untuk mencari obat demi kesembuhan mereka, tapi tidak ada obat dan orang pintar yang bisa menyembuhkannya.  Guna mencari kesembuhan, dua putri raja tersebut mengembara masuk-keluar hutan belantara, naik-turun gunung dan akhirnya singgah di lereng Gunung Wilis tepatnya di Desa Bajulan.  Saat singgah di lereng Gunung Wilis tersebut, mereka bertemu dengan Resi Darmo dari Padepoan Ringin Putih. Di sinilah dua putri raja tersebut dirawat dan diberi obat ramuan oleh sang Resi. Dalam proses penyembuhannya, putri Runting dan Kuning sering mandi di air terjun yang kemudian diabadikan oleh sang Resi menjadi nama air terjun. 

Legenda tentang dua putri yang sakit dan disembuhkan di tempat tersebut sampai sekarang masih dipercayai dan diceritakan kepada para pengunjung yang berwisata di tempat itu.
Selain air terjun itu, di tempat ini juga banyak ditemukan petilasan-petilasan berupa situs, batu dan pohon besar bekas tempat pemujaan para resi, prajurit kerajaan, dan para pengembara. Bekas-bekas pemujaan sampai sekarang masih banyak terdapat di sekitar bukit air terjun. Di antaranya petilasan Dewi Sekartaji dan petilasan Jendral Sudirman. Dua petilasan tersebut konon banyak didatangi orang, apalagi menjelang pemilihan anggota Legislatif (Pileg).

Terlepas dari legenda dan kepercayaan yang menyelimuti tempat itu, keindahan alam dan kejernihan air yang mengalir dari air terjun itu sangatlah menawan. Saat pagi hari, di sekitar air terjun Roro Kuning banyak dihuni burung-burung yang berkicau bersaut-sautan. Hawanya yang sejuk dan alami, mulai pagi hingga petang menambah betah para pengunjung yang ingin bersantai bersama keluarga atau hanya ingin melepas penat dari hiruk-pikuk pekerjaan di kantor.
Selain itu, sebagai ikon dari tempat ini adalah diletakkannya sebuah patung yang menyerupai seorang putri raja. Ikon ini tentu saja akan mengingatkan setiap pengunjungnya tentang legenda dan keindahan alamnya. Bila dilihat dari kejauhan, maka ikon ini akan nampak seperti bidadari yang terbang, turun dari kahyangan. Indah sekali.

Kamis, 11 April 2013

Legenda Asal Usul Air Terjun Sedudo - Nganjuk

Air terjun Sedudo yang berada di ketinggian 1.438 meter di atas permukaan laut (dpl) di sisi timur kawasan Gunung Wilis dengan ketinggian air terjun sekitar 105 meter tepatnya terletak di Desa Ngliman Kec Sawahan Kab Nganjuk. Air terjun Sedudo terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat mempunyai sejarah yang belum banyak orang tahu. Berikut adalah legenda asal usul Air Terjun Sedudo

Pada zaman kerajaan Kediri, sang raja memiliki seorang putri yang mempunyai penyakit aneh seperti cacar namun sangat menjijikan bagi yang melihatnya, akhirnya oleh sang raja yang tidak lain ayahnya sendiri putri tersebut di suruh untuk berobat ke sebuah padepokan yang berada di daerah Pace. Pemilik padepokan sekaligus teman dari raja ini disuruh menyembuhkan dan menyembuyikan identitas sang putri dari rakyat sekitar. Akhirnya setiap pagi putri di mandikan di air terjun Roro Kuning untuk menyembuhkan penyakit sekaligus pada pagi hari air terjun roro kuning belum dipakai oleh rakyat sekitar.

    Kian hari penyakit putri berangsur – angsur sembuh, paras cantiknya kian terlihat kembali, anak dari pemilik padepokan tersebut mulai mengetahui siapa si putri ini. Bahwa si putri tersebut adalah anak dari raja Kediri yang sedang berobat di padepokan milik ayahnya. Akhirnya kedua anak dari pemilik padepokan tersebut mengejar hati dari putri kerajaan Kediri.

   Pada akhirnya ketiga insan tersebut merajut cinta, namun cerita barulah bermulai ketika si putri tersebut sembuh dari penyakitnya. Akhirnya sang raja dari kerajaan Kediri menjodohkan putri tersebut dengan calon pilihan sang ayah yang tidak lain adalah raja dari kerajaan Kediri, lalu kedua anak dari pemilik padepokan tesebut patah hati berat. Akhirnya sampai berbulan - bulan kedua anak tersebut mengurung diri di sebuah kamar, hingga suatu ketika mereka keluar dari kamar dengan sikap yang berubah total. Dulu yang begitu ramah dengan orang sekitar kini kedua anak tersebut tidak memiliki sopan santun sama sekali terhadap orang lain semenjak peristiwa tesebut.

   Karena sikap yang dimiliki oleh kedua anaknya, akhirnya membuat pemilik padepokan tersebut yang tidak lain adalah ayahnya sendiri mengutus kedua anak tersebut bersemedi untuk melupakan jalinan kasih dengan putri kerajaan Kediri, namun sebelum melakukan semedi kakak beradik ini mengucapkan sebuah ikrar sang adik tidak akan pernah sopan santun lagi kepada orang lain sedangkan sang kakak akan selalu hidup melajang.

     Sang kakak bertapa di sebuah air terjun tertinggi maka dari itu air terjun yang berada paling tinggi di namakan air terjun Sedudo yang artinya “Sing mendudo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang melajang”, sedangkan adiknya bertapa di air terjun SingoKromo yang artinya “Sing Ora Kromo” atau dalam bahasa Indonesia artinya “yang tidak memiliki sopan santun”. Letak dari air terjun SingoKromo berada di bawah air Sedudo. Nama dari kedua air terjun tersebut di ambil dari janji mereka sewaktu akan melakukan semedi dulu.